Sharing Time 1999 –Art-Temple-Art di Tejakula PERTEMUAN BUDAYA DENGAN DASAR SENI GERAK.

Posted by : arsipart March 18, 2023 Tags : Bali , budaya , Tejakula

Hari /Tgl : 5 – 12 Oktober -1999

Sejumlah manusia dari berbagai profesi dari berbagai negara (Jepang, AS,Australia,Jerman,Denmark,Inggris dan Indonesia ) melebur diri dengan bumi Desa Tejakula sekitar 35 km di timur kota Singaraja,Bali, mencoba mendekatkan diri mereka kepada Sang pencipta.

Desa Tejakula merupakan dusun kecil di pinggir pantai Buleleng. Mereka datang ke Tejakula bukan sbg turis, tetapi sbg peserta seb acara bertajuk “Sharing Time 1999 –Art-Temple-Art”, pemrakarsanya adalah Suprapto Suryodarmo, empu gerak dari Solo,pemilik padepokan Lemah Putih. Yang ketempatan Nyoman Tusan, pelukis gaek yg lukisannya diikutkan dalam pameran lukisan Jakarta-Paris beberapa th lalu.

Menurut Nyoman Tusan, “ide yang mendasari gagasan ini adalah upaya mendapat bandingan antara beberapa seni ritual di berbagai negara, seni yg berdasar berbagai agama.

Wayan Wong Sakral ketika pentas di Pura Maksan Tejakula

 

 

Komunikasi antarpekerja seni gerak berlanjut sampai terlontar gagasan membuat forum pertemuan yang diberi nama Sharing Movement, yg melahirkan program Sharing Time,untuk menjadi wadah pertemuan, pelaku seni dari berbagai latar belakang untuk saling tukar fikiran,bertukar pengalaman serta tukarbudaya serta peningkatan kreativitas.

Sharing Time pertama th 1993  di Koeln dg 75 peserta dilaksanakan oleh Healing Theatre

Sharing Time kedua th 1995 berlangsung di Solo, yg melibatkan Yayasan Samiaji

Sharing Time ketiga th 1997 di Devon, Inggris

Untuk Sharing Time 1999, acara dirancang, disusun,dan direvisi di tempat kejadian oleh Sosiawan Leak,penyair asal Solo. Selama 12 hari ,acara tidak selalu dilaksanakan di pendopo yg diberi nama Cili Mas, tetapi juga di Pura Teja Amerta, Pura Ponjok Batu. Peserta dari luar negeri  di tampung penginapan milik Nyoman Tusan, sedang peserta dari Indonesia berbaur dg penduduk.

Menurut Sosiawan Leak, “Setiap waktu acara bisa berubah”.

Akasuki Harada, seni rupawan instalasi asal Jepang yang berhari-hari kerjanya keliling desa, mengamati berbagai hal ,saat akhir kegiatan meluncurkan karya instalasinya, yakni karya dari bahan-bahan kayu bekas bangunan.

Sementara peserta yg lain seperti  Simon, seorang insan teater dari Makasar, Chaerudin seorang pelukis, musikus juga insinyur. Vick dari AS sdh 20 th menjadi guru Yoga,dan istrinya yg sdh 13 th mengasuh klas Yoga. Di Tejakula mereka mencari cara untuk mendekatkan diri pada Tuhan dg menggunakan gerak nurani (inner act) melakukan kolaborasi dg berbagai insan—suatu upaya penyatuan diri dengan yang maha kuasa.

 

Mengapa Tejakula?

Menurut Nyoman Tusan ,”ketika Suprapto singgah di rumah beberapa th lalu, dia merasakan getaran spiritual di seluruh bumi desa Tejakula. Demikian kemudian teman-teman  Suprapto dari luarnegeri juga dapat merasakan getaran ini. Karenanya, sejumlah tamu asing itu betah tinggal disini, menikmati getaran itu.

Dari jadwal acara Sharing Time 1999, acaranya tidak hanya disuguhi kesenian daerah Bali sbg tontonan, tetapi mereka juga berkreasi sendiri dg berbagai bentuk karya seni pilihannya, seperti :

  1. Upacara “Pamelaspas” di Pura Teja Amerta, melakukan kolaborasi bertajuk “Sharing Movement”, dimana mereka mengekspresikan gerak nurani di dalam sebuah kelompok .
  2. Pembacaan puisi tradisional Bali, yakni “kakawin” oleh kelompok Pesantian Tejakula (kelompok pembaca puisi klasik Bali).
  3. Menonton (dan mementaskan) sejumlah pertunjukan seperti “ Apanaung” oleh Batara Gowa dari Ujung Pandang
  4. “The Colorful Peace” karya kolaborasi Agus,Suryani,Satriani,Hamrin,Ellin,Arie (dari Ujung Pandang dan Amerika.
  5. Alang alang kumitir oleh Suprapto
  6. Monolog “Prita Istri kita” karya Arifin C Noer oleh teater Mahasiswa STKIP Singaraja
  7. Nonton wayang wong “Kumbokarno Gugur”

Juga melakukan proseni ritual dari Cilimas ke Pura Teja Amerta serta melakukan berbagai workshop dan diskusi.

Desa Teja kula merupakan salah satu dari sedikit desa yang masih mempunyai tradisi wayang wong, yang berbeda dg wayang wong Jawa. Di sini wayang wong dipertunjukkan di halaman pura pada siang hari,dan pemainnya menggunakan topeng.

Sebuah pertemuan budaya dengan dasar seni gerak nurani ini tampaknya memberi peluang untuk saling “berdialog”,bukan melalui makalah-makalah teoritis,namun melalui pertemuan batin yang intens di antara para peserta,untuk sampai kepada pemahaman kemanusiaan yang sama sama mencari Tuhannya; manusia yang diharapkan dpt dipersatukan bukan melalui organisasi politik,tetapi oleh kesenian. Dalam konteks Indonesia dan dunia masa kini pertemuan berbagai rasa macam ini sangat relevan.

 

 

Dari   : KOMPAS,

Hal     : 21,

Hari   :Rabu,3 November 1999.

RELATED POSTS
FOLLOW US